Sebuah Kesaksian Jeritan Petani Kendeng

Di pertengahan bulan Maret kemarin, menjadi awal sebuah perlawanan petani kendeng atas pendirian pabrik semen di wilayah pertanian mereka. Secara sukarela, mereka berbondong-bondong menuju Jakarta hanya untuk menyuarakan aspirasinya di depan istana negara. Dengan aksi setengah nekat, mereka rela kaki mereka dipasung semen sebagai pertanda bahwa hak mereka sebagai petani telah diambil secara paksa oleh kejamnya kapitalisme global yang dalam hal ini diwakili oleh sebuah perusahaan semen multunasional sebut saja SI.
Mendengar hal itu, saya tertarik untuk menjadi relawan dalam aksi tersebut. Tepat hari ke-3 aksi dengan berbekal sepeda motor dan air minum secukupnya, saya beserta satu teman saya yang merupakan ketua organisasi yang fokus dalam bidang HAM bergegas menuju lokasi aksi tersebut dilaksanakan.
Di tengah teriknya matahati kota Jakarta, saya tiba di lokasi. Seketika suara teriakan dan tangisan para petani yang dipasung semen terdengar keras dan lantang.
sayapun langsung bergabung dengan relawan lainnya yang membantu jalannya aksi tersebut. Sebagai relawan tugas kami juga cukup berat. Selain memantau proses berjalannya aksi, kami juga ditugaskan untuk memenuhi kebutuhan peserta aksi seperti konsumsi dan perlengkapan. Hari semakin siang, peserta aksi lainnya terus berdatangan dan dengan sukarela juga kaki mereka langsung dipasung di tempat. Mereka bertekad tidak akan melepas pasungannya sampai mereka ditemui dan didengar aspiranya oleh presiden.
Dengan dipimpin oleh seorang orator dari pihak petani sendiri, mereka terus berteriak tanpa lelah.
Menjelang sore hari, beberapa relawan berbicara di depan peserta aksi menyampaikan bentuk simpati mereka dan siap menawarkan bantuan berupa bantuan hukum dan tempat tinggal.
Pukul 4 sore pertanda selesainya aksi tersebut dan akan dilanjutkan pada esok hari.
Sebuah tugas terakhir bagi kami yaitu mengangkut para peserta ke tempat tinggal mereka selama melakukan aksi di jakarta.
Tempat tinggal mereka berada di LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta. Kami pun segera mengangkut mereka dan pemandangan mengharukan pun muncul kembali ketika sampai di LBH, beberapa peserta aksi meminta kami untuk mengantarkan mereka berwudhu ke kamar mandi untuk melaksanakan solat asar dan berdoa mengadu kepada Yang Maha Kuasa. Isak tangis mereka tidak berhenti untuk berdoa bersama sampai datangnya waktu solat magrib.
Bagi kami, kelelahan hilang seketika terebut oleh rasa simpati terhadap penderitaan mereka.

#1Hari1Post
#RamadhanMalhikdua